Jakarta – Pemerintah saat ini tengah menyiapkan agenda revisi terhadap UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam draft terakhir, April 2023 yang tertuang dalam slide pembahasan RUU TNI terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini.
Ditambah lagi, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI.
Berdasarkan draft yang ada, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai terdapat beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM, antara lain:
Pertama, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI sebagai regulasi organik yang mengatur tentang TNI. Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dalam kedududkannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI
Dengan dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU TNI, hal ini menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapai masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa mellaui keputusan presiden. Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yg demokratis.
Kedua, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara. Hal ini dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI. Bahkan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional. Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Lebih dari itu, upaya perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR. Jika usulan perubahan ini diadopsi, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR.
Ketiga, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI.